Tinggal di Desa Versus di Kota, Ramah Tamah atau Remeh Temeh?
-, Desa versus kota, menjadi bahasan menarik untuk kawula muda masa kini. Bermula dengan membandingkan struggle dan kondisi yang mereka hadapi.
Tidak sedikit yang memberikan anggapan bahwa anak daerah cenderung lebih gaptek. Sedangkan anak kota lebih manja.
Stigma semacam ini berputar cukup menarik perhatian untuk dibahas. Sama seperti ketika seseorang yang lahir dan tumbuh besar di sebuah lingkungan dan harus berhadapan dengan hal baru ketika dewasa.
Perspektif yang menjadi tolak ukur ketika masa transisi juga terlihat jelas. Kebiasaan dan tingkah laku yang terkesan mau tidak mau mengikuti pemikiran masyarakat.
Desa versus Kota
Sebagai pengalaman pribadi yang masih melekat hingga kini. Tumbuh besar di daerah yang sebenarnya masih berada pusat kabupaten, memang bukan pusat kota.
Lalu ketika beranjak dewasa mau tidak mau harus beranjak untuk merasakan pengalaman hidup ke pusat kota. Mengadu nasib katanya, cukup jadi tameng dari rasa penasaran jiwa muda sebenarnya.
Alih-alih bertahan dan betah, dari dalam diri justru minta pulang. Semua memang serba mudah dan praktis ketika di kota, namun ada yang hilang begitu saja lalu perasaan berkecamuk.
Akhirnya memutuskan untuk pulang, rehat dari kebisingan satu tahun terakhir. Mencari tahu apa yang hilang dan berbeda.
Kecamuk Perspektif
Setelah kembali lalu mempertanyakan kepada diri sendiri, tinggal di desa versus kota? Semua memang memiliki dampak negatif dan positif untuk pengalaman secara pribadi.
Tidak mau pukul rata juga, semua bisa dengan mandiri menilai. Hanya bercerita, untuk orang yang lahir dan tumbuh dengan adat dan kebiasaan yang masih kental, kota terlihat cukup mencengangkan.
Bukan, bukan karena hingar bingar yang tidak pernah padam. Bukan pula karena semua teknologi yang berpacu untuk merasa paling maju.
Semua bukan tentang dunia saja ternyata. Terkadang kita butuh duduk lalu menghela nafas segar, dan meringankan pikiran dari bersaing dengan dunia yang super duper sibuk ini.
Untuk kompetisi kota memang sangat seru untuk kita kejar. Juga bukan karena tidak siap dengan semua kebiasaan baru, bukan. Semua tidak sesederhana mengejar dan dikejar.
Mungkin Tenang?
Setelah sedikit melihat titik terang ketika mengulas kembali semua terasa tenang. Ternyata stigma yang dijejalkan dari belia cukup manjur pada si batin anak desa ini.
Kalo kata frodcast anak daerah, baiklah itu lebih terdengar sopan. Kehidupan kota selalu gemilang dan menjanjikan, ya memang.
Tapi bagiku pribadi, ada yang hilang. Ketika rumah yang berdempet berdekatan, berjalan berjejalan saling menyentuh bahu, semua ramai namun terasa sepi.
Itu kata yang terasa satu tahun mempelajari. Ternyata ini, ketika kita berpapasan namun tidak saling bertegur sapa atau setidaknya menyunggingksn senyum.
Ketika rumah berdempetan, bahkan saling terdengar dialog obrolan tetangga sebelah. Namun saling acuh dan bodo amat dengan yang terjadi.
Semua terdengar sangat lucu dan membuat pikiran rancu. Sebenarnya apa mau anak daerah yang masuk kota ini?
Remeh Temeh dan Ramah Tamah
Jadi, sebenarnya yang bermasalah ini pemikiran sempit anak daerah atau memang ada yang keliru? Adegan sepele yang awalnya tidak terlintas akan jadi bahan overthinking kala malam hari.
Semua berputar kembali, adegan mengenai tetangga sekitar yang menyapa terkesan basa-basi. Sepanjang jalan yang sudah kulewati ketika pulang, penuh candaan dan pertanyaan kabar.
Semua terkesan remeh temeh awalnya, dulunya. Namun ternyata berdampak cukup kuat kepada si anak daerah ini, jadi ini yang hilang.
Meski jarak rumah yang selalu terpisah oleh pekarangan, halaman rumah yang bisa jadi lapangan olahraga ketika ditempatkan di kota. Semua terasa lebih terbatas dan bahkan tidak sepraktis kota.
Namun hangat, semua terasa bermakna dan tidak berambisi untuk merasa paling. Mungkin ketika dilihat dari kacamata si anak kota akan merasa bahwa anak daerah gaptek.
Tidak bisa dielak memang iya, namun bukankah semua ada plus minusnya. Harus ada yang dikorbankan dari sebuah peradaban.
Peduli atau Penasaran
Ada hal yang menarik ketika membandingkan kota dan desa. Ketika sudah terbiasa dengan pertanyaan remeh temeh sedari belia dan diacuhkan ketika masuk kota.
Ketika berada di desa kita terbiasa mendapatkan berbagai pertanyaan yang terkesan menuntut. Entah benar-benar berniat bertanya karena peduli, atau karena basa-basi dan penasaran saja.
Ketika berada di desa apapun yang kita lakukan selalu tampak transparan tanpa tedeng aling-aling. Apapun itu semua menyebar sangat cepat, hal ini bisa menjadi boomerang juga.
Ketika hal yang sebaiknya tersebar cepat memang akan membantu. Namun ketika sebuah hal yang privasi rasanya tidak nyaman dan membuat muak.
Namun di kota semua serba bodo amat. Segala hal yang tidak menyinggung akan menjadi sesuatu yang tidak perlu untuk dirisaukan. Ini juga bisa jadi hal yang menarik, namun juga tidak jika sesuatu yang perlu mendapat tindakan cepat.
Tumbuh Lalu Pergi Jauh
Setelah bertemu titik terang si anak daerah jadi paham. Memang semua tentang doktrin dan adat kebiasaan, semua memang tidak bisa selalu seperti apa yang ia mau bukan?
Kalian pasti merasakan jika memiliki pengalaman yang sama. Tapi tahukah kalian desa tidak sekelam yang ada di bayangan.
Daerah memang tidak semaju kota, wajar dan memang semua ada porsinya. Misalnya, kerja keras orang yang hidup didaerah terbiasa mendapatkan sesuatu harus dengan tekanan yang kuat.
Kami tidak sepele seperti tokoh pembantu dalam sinetron televisi. Si anak daerah yang merantau ke kota berbekalkan adat yang terukir sempurna tanpa sadar. Tumbuh lalu pergi jauh, namun selalu ingat jalan pulang.
Tinggal dimanapun kita bisa memiliki plus minus. Semua memang kembali kepada pribadi masing-masing, untukku pribadi si daerah menang.
Terlalu banyak yang hingar bingar namun sepi di kota, sedangkan daerah punya surga yang sunyi namun ramai penuh makna. Bagaimana dengan kalian, cukupkah untuk pulang atau bertahan ditempat berpijak diperantauan?
renjana ;
selalu jatuh dengan tulisan mu
BalasHapusterima kasih telah membersamai tulisan saya
HapusFirst of all, thanks a lot for writing a mindblown blog like this. I cried a lot while I reading it ‘cuz not gonna lie, I miss my home so much. I miss how the smell of hometown it is. I miss how we are falling for the warmness from our neighbour deeply.
BalasHapusMembandingkan padanan cerita diri sendiri, tempat yang sekarang kutinggali dan kutempati mungkin jauh daripada sebagian besar kehidupan orang-orang pada umumnya yang dapat dengan bebas bercengkrama dengan gawai elektroniknya, bekerja dan bermain kapan pun mau. Namun, lebih dalam daripada hal-hal di atas, aku sadar aku terjebak dan tumbuh dewasa disini. Terjebak dalam artian aku mensyukurinya. Bersyukur bahwa aku menjadi salah satu bagian dari “orang-orang dibalik penjara suci”.
Hoooooooooooo, once more, thanks for slapping me so hard through yur wonderful writing. Berharap dan mendo’akan bebe yg terbaik. Selalu.
Regards,
Ziiiiiiiiiiiiiiiiii
aaaaaaa thank you kak ziiiii. sorry for late reply. semoga kita selalu beranjak ke hal-hal baikkkkk
Hapus